Friday, 31 March 2017

Mengubah Pasar Kumuh Jadi Tempat Selfie











Seniman John Martono (berikat kepala merah) melukis dinding Pasar kosambi dalam sebuah kegiatan bertajuk Kosasih (Kosambi Pasar Bersih) yang bertujuan agar pasar tradisional menarik untuk dikunjungi. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler
Seniman John Martono (berikat kepala merah) melukis dinding Pasar kosambi dalam sebuah kegiatan bertajuk Kosasih (Kosambi Pasar Bersih) yang bertujuan agar pasar tradisional menarik untuk dikunjungi. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler
BANDUNG, Indonesia — Sabtu pagi itu, sekelompok warga Bandung bergotong royong melukis dinding dengan luas 24 meter persegi. Kegiatan seni mural tersebut tampaknya mulai sering dilakukan warga ibu kota Jawa Barat itu. Namun yang berbeda kali ini, seni lukis masyarakat urban itu tidak dilakukan di dinding yang ada di jalanan ataupun gang, tapi di sebuah pasar tradisional.
Kegiatan yang berlangsung di Pasar Kosambi Bandung itu dimotori oleh John Martono, perupa Bandung yang karyanya telah merambah ke mancanegara. John mengawalinya dengan membuat sketsa yang masih abstrak. Selanjutnya, ia mengomando peserta yang datang dari berbagai kalangan masyarakat ini.
“Yang warna jingga [oles] di sini, merah di sini, biru di sini,” kata John memberi instruksi sembari menunjuk sudut-sudut dinding di Pasar Kosambi.
Perintah itu langsung diikuti dengan penuh semangat oleh peserta yang hadir di pasar yang berlokasi di pusat kota itu. Mereka serentak mengoleskan warna di bidang yang telah ditandai John dengan warna yang senada. Salah satu di antara mereka adalah Agus Gani, Kepala Pasar Kosambi.
“Ini bentuk kepedulian yang begitu bagus supaya para pedagang di sini jadi semangat berjualan,” kata Agus. “Ini juga untuk menarik konsumen itu sendiri berkunjung ke sini. Jadi pasar itu enggak kumuh, konsumen datang ke sini ada yang lain dari pada yang lain. Pengunjung banyak bisa memotivasi pedagang.”
Ia mengungkapkan, dirinya berusaha keras menjadikan pasarnya tempat yang menarik untuk dikunjungi pembeli. Apalagi, ia mendapat tugas membuat betah para pedagang kaki lima (PKL) Jalan Ahmad Yani yang direlokasi ke Pasar Kosambi.
“Supaya para PKL semangat berjualan di sini, enggak balik lagi ke Ahmad Yani,” ujarnya.
Dianita Andriani juga memiliki harapan yang sama. Karyawati di salah satu badan usaha milik negara (BUMN) ini sengaja ikut terlibat di acara bertajuk Kosasih (Kosambi Pasar Bersih) ini karena menginginkan pasar tradisional tidak lagi kumuh tapi menarik untuk dikunjungi.
“Biar menarik minat untuk datang ke pasar, karena kan pasarnya enggak monoton tapi cerah. Jadi pasar tradisional enggak kalah sama pasar modern,” ucap perempuan 25 tahun itu.
John sendiri memiliki keinginan yang lebih jauh. Ia bercita-cita, Pasar Kosambi masuk ke dalam daftar ikon Kota Bandung. Terlebih lagi, Pasar Kosambi memiliki nilai sejarah berkat keberadaan bioskop Rivoli yang berdiri pada 1935. Bioskop ini kemudian beralih fungsi menjadi Gedung Pertunjukan Rumentangsiang.
John membayangkan, setiap orang yang datang ke Pasar Kosambi akan mengambil foto selfie di depan karya mural hasil keroyokan itu.
“Saya berharap orang-orang pada selfie di sini, mudah-mudahan jadi tempat [lokasi pemotretan] pre-wedding juga kalau mau. Jadi istilahnya, Anda belum dianggap ke Kosambi kalau belum foto di sini,” harap John.
Omset pedagang meningkat
Bukan tidak mungkin pasar yang biasanya kumuh, kotor, dan becek menjadi tempat yang disukai warga untuk selfie, seperti yang terjadi di Pasar Cihapit. Pasar yang dulunya kampung penjara saat zaman penjajahan Jepang itu, kini menjadi pasar indah, bersih, dan nyeni.
Di pasar ini, terlihat banyak hiasan berupa lukisan mural, bentangan kain warna-warni di langit-langit, dan pajangan payung hias di beberapa sudut kios pedagang. Tak heran jika Pasar Cihapit menjadi tempat yang cocok untuk berswafoto.
“Banyak yang selfie di sini, apalagi waktu pertama pasar ini dihias dan ramai di media sosial,” ujar Martin Subakti, pedagang daging sapi di Pasar Cihapit.
Salah satu lukisan mural di dinding lorong Pasar Cihapit Bandung. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler
Salah satu lukisan mural di dinding lorong Pasar Cihapit Bandung. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler
Omset penjualan para pedagang, menurut Martin, cukup terdongkrak dengan datangnya para pelanggan baru yang datang untuk selfie. Tampilan pasar yang unik menjadi daya tarik bagi warga Bandung maupun wisatawan untuk datang ke pasar yang dekat dengan kawasan wisata belanja factory outlets ini.
“Setelah selfie, biasanya mereka belanja juga,” ujar Martin yang telah berdagang selama 30 tahun di Pasar Cihapit itu.
Saat memasuki lorong menuju lokasi pasar, mata pengunjung telah dimanjakan dengan lukisan mural yang menarik di sepanjang dinding lorong. Dulu, dinding terlihat kotor dan kusam membuat suasana terasa suram.
Kini, warna-warna yang indah dan cerah membuat suasana belanja menjadi lebih ceria. Apalagi, di area utama pasar tampak payung-payung hias bergelantungan ditambah bentangan kain aneka warna di langit-langit, membuat betah dan nyaman para pedagang dan pembeli.
“Bagus, ada hiasan seninya, jadi enggak jenuh belanja di sini,” ujar Yayah Zakaria yang ditemui saat sedang berbelanja.
Yayah memaksakan diri berbelanja ke Pasar Cihapit meski berjarak kurang lebih 8 kilometer dari rumahnya. Nenek berusia 67 tahun itu juga lebih memilih Pasar Cihapit dibanding pasar di dekat rumahnya, meski harganya jauh lebih mahal.
“Kalau bisa semua pasar seperti ini; enggak becek, enggak bau, bagus. Enggak apa-apa lebih mahal di sini, tapi enak dan nyaman belanjanya,” ungkap Yayah.
Revitalisasi 40 pasar tradisional lainnya

Merevitalisasi pasar tradisional menjadi tempat belanja yang nyaman, indah, dan bersih menjadi program PD Pasar Sae dan beberapa relawan mahasiswa Master of Business Administration Institute Teknologi Bandung (MBA ITB).
Revitalisasi Pasar Cihapit dilakukan setahun yang lalu, yang disusul kemudian Pasar Kosambi. Diharapkan, revitalisasi pasar tradisional akan dilakukan pula terhadap 40 pasar lainnya.
“Selama pemerintah mengadakan atau ingin merevitalisasi pasarnya kami hadir di sana. Jadi tidak dipastikan satu, dua, tiganya, semampu kami,” kata Likgayantini Ari, relawan dan juga pemerhati pasar tradisional.
Selama ini, dosen ITB itu menjelaskan, ia dan para relawan melakukan pendampingan kepada para pedagang dengan tujuan agar pasar tradisional bisa hidup kembali dan mampu bersaing dengan pasar modern.
“Pedagang itu didampingi tidak hanya dia laku, tapi gimana caranya orang datang ke sini [pasar tradisional] untuk membeli, gimana caranya pedagangnya juga semangat berjualan, gimana caranya mantan PKL ini tidak kembali lagi ke jalan,” kata Likgayantini.
“Ini hanya bagian kecil yang bisa kami lakukan agar kolaborasi ini membantu pemerintah,” ucapnya. —Rappler.com

No comments:

Post a Comment